Sabtu, 14 Februari 2015

Jawaban yang Ku Nanti
By
Devie Aryani
            Kira-kira sepuluh jam yang lalu,sebuah nomor tak dikenal menghubungiku. Malam ini aku benar-benar tak bisa tidur setelah mendengar suara tangis Mita,sahabat baikku ada di ujung sana meneleponku dengan nomor yang tidak aku kenal. Aku menatap layar handphone saat suaranya hilang dan telepon terputus. Aku tak bisa lelap tertidur. Fikiran aku pun melayang
            Pandangan kosong dengan fikiran yang kacau menemani setiap langkah yang aku tempuh dari rumah ke sekolah. Hanya satu dalam fikiranku,yaitu cepat-cepat bertemu Mita dan menanyakan keadaan dari ucapan dan tangisan nya semalam tadi.
            Sejak aku tumbuh dan masuk SMA ini,banyak hal yang sering orang lain anggap lebay. Semenjak aku masuk SMA dan kenal dengan Mita aku menjadi sosok wanita yang di segani. Aku terkadang bisa melihat sekilas kesedihan dan kebahagiaan orang yang ada kurang dari 1 meter di hadapanku. Tapi hal ini tak bisa aku lakukan untuk diriku sendiri dan sahabatku Mita. Mita pun merasakan hal yang persis sama denganku. Mita yang menjadi sahabat terbaikku semenjak aku bertemu dia saat ospek masuk SMA Harapan ini. Dia bahkan bisa melihat aura orang-orang di sekelilingku,juga bahagia dan kesedihannya. Tapi dia juga tidak bisa melakukannya padaku dan dirinya sendiri. Mita pernah bilang kalau kemampuannya ini didapat dari ayahnya,dan dia bilang kalau kemampuan seperti aku dan Mita ini hanya didapat dari orang tua yang menurunkan kemampuan ini pada anak kandungnya saja. Dan kami semakin bingung kenapa aku memiliki kemampuan yang sama yang entah aku tak tahu darimana kemampuan itu datang.
            Hari ini aku benar-benar tak melihat Mita di sekolah. Aku dan Mita memang berbeda kelas,tapi sejak istirahat pertama aku berkeliling sekolah mencari Mita,tak aku temui di manapun. Aku mencoba bertanya pada teman-teman dekatnya yang lain tak ada kabar yang membuatku bahagia. Teman-teman yang satu kompleks dengan Mita bilang mereka tak melihat Mita dari semalaman,bahkan rumahnya terlihat sepi tanpa berpenghuni. Semuanya aneh, aku semakin khawatir dengan keadaan Mita yang hilang tanpa kabar ini. Aku khawatir sama seperti aku khawatir dengan saudara-saudara ku yang lainnya. Ini sungguh aneh bagiku.
Pelajaran hari ini sudah selesai,aku benar-benar merasa sangat lelah tanpa Mita disisiku. Aku merasa ada yang hilang saat Mita tak menemaniku hari ini. Aku merasa khawatir dengan keadaan Mita, beberapa pesan singkat BBM, Line, facebook, twitter, WA dan telepon aku tuju untuknya, tak ada kabar,tak ada satupun balasan.
Aku duduk di sebuah kursi panjang di taman dekat rumah sambil menatap layar handphone yang aku harap itu Mita. Lama aku terdiam,satu nomor tak di kenal menghubungiku. Nomor itu! Nomor yang sama yang menelponku malam tadi. Aku segera mengangkatnya dan kuharap itu Mita.
“hallo...Mita...” suaraku sedikit panik.
            “Diandra...” suara sengau mengagetkanku dengan sekejap.
            “Mita..hallo Mita... kamu dimana?” aku mulai panik.
            “aku disini Di”
            “aku khawatir sama kamu,,kamu baik-baik aja kan? Suara kamu sendu”
            “aku baik-baik aja ko Di,bolehkah kita bertemu?”
            “tentu,,tentu Mit,, sekarang kamu dimana? Aku akan menghampirimu”
            “aku tunggu kamu di warung bakso favorit kita depan sekolah ya Di,aku harap kamu gak terlambat”
Sebelum aku menjawab nya nomor tak dikenal itu langsung menutupnya,aku bergegas kembali lagi kesekolah dengan tujuan bertemu dengan sahabat yang sudah aku anggap saudara itu. Hati ini bahagia setelah mendapat kabar dari Mita,tapi hati ini pun tak tenang dengan bagaimana keadaan Mita disana. Aku khawatir sungguh aku khawatir.
Aku tiba di tempat Mita mengajakku bertemu. Aku melihat jam di tangan kiri ku,tepatnya aku terlambat 15 menit. Aku tak peduli! Aku melihat sekeliling. Nampak seorang wanita dengan rambut sebahu memakai baju biru membelakangiku dan kuyakin itu adalah Mita. Aku mendekat dengan rasa aneh yang tak bisa aku jelaskan.
“mita...” aku menyapanya lemah.
            Dia menoleh dan aku tahu persis wajah dia kaget sambil berdiri dan dia tersenyum di balik matanya yang sembab. Satu hal yang kutahu,dia telah menangis semalaman.
“Di.....” dia berjalan mendekat dan memelukku erat. Aku merasakan tetesan lembut di pundakku. Aku kemudia merasakan hal itu lagi,rasa aneh yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.
“Diandra... aku minta maaf” suaranya terdengar lemah dan tak berdaya.
“maaf? Maaf buat apa Mit?” aku bertanya serius. Dia melepaskan pelukan eratnya ditubuhku. Dia menatap dalam dan berkata “aku minta maaf”.
“ada apa Mit? Ceritakan...” dia tak menjawab. Aku mengikutinya dan duduk di kursi disampingnya dengan wajah bertanya-tanya.
“Di...” dia memulai percakapan.
“ceritakan ada apa ini? Kamu kemana? Kamu kenapa? Aku...............” belum sempat aku bicara.
“Di... aku gak papa!” Mita menjawab singkat dan jelas.
“lalu kenapa kamu meminta maaf?” aku semakin bertanya-tanya.
“kamu benar Di,kita sama. Kita mempunya sifat yang sama. Bahkan kita mempunyai kemampuan aneh yang sama,tanggal lahir kita pun sama bukan? Hanya saja wajah kita jauh berbeda Di. Tapi semua hal yang sama dari kita itu membuat semuanya menjadi cerita. Kita memang terlahir dari rahim yang sama dan dari pasangan orang tua yang sama” dia memulai bercerita tertunduk dan tak berani menatap wajahku. Wajahnya selalu tertunduk lemas seperti tak ingin menatapku.
“apa? Jangan bercanda loh Mit. Ibuku sudah meninggal sejak melahirkan aku” aku semakin tak percaya.
“kamu salah Di,seorang wanita yang bersama ku 18 tahun ini adalah ibu mu. Dan seorang laki-laki yang bersamamu adalah ayahku juga” dia bercerita meyakinkan. Tapi hatiku masih ragu.
“lalu mengapa kamu...........” aku semakin bingun dengan semua cerita Mita.
Mita mengeluarkan beberapa album foto kecil yang terlihat usang dari tas merahnya.
“ini yang membuat aku yakin dengan ucapan ibuku. Ayah bermain gila dan meninggalkan aku juga ibu. Tapi kamu, kamu ikut bersamanya hanya untuk alasan dia mendapat uang sejak itu. Lalu ibu bilang dia berhenti sejak kamu beranjak dewasa. Maafkan aku Di,aku sempat membencimu,aku sangat membenci sosok ayah seperti dia,dan aku juga membenci kamu Di,tapi aku gak bisa. Cinta dan ketulusan mengalahkan rasa benci ku untuk mu Di. Dan satu hal yang harus kamu tahu,kita tak bisa menggunakan kemampuan kita karena kita saudara kembar.” Dia mengakhiri cerita,dan terlihat sungai kecil mengalir di kedua pipinya.

Aku tak percaya dengan semua yang terjadi. Aku tak bisa membuka mulutku dan berbicara. Sungai kecil kini membasahi pipiku. Lama aku terdiam. Aku berdiri dan menghampiri serta memeluk Mita seraya berkata “sudahlah sayang... kamu dan aku memang satu. Jangan melihat kebelakang,hidup kita kedepan. Aku dan kamu satu,tak akan bisa di pisahkan. Saudara kembarku”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar